Kamis, 19 Februari 2015

syarat masuk surga

 بسم الله الرحمن الرحيم Syarat kalimat tauhid “laa ilaha illallah”

Banyaknya kabar dari nabi saw tentang keutamaan kalimat tauhid ini dan balasan bagi orang yang mengucapkannya, telah membuat banyak kaum muslimin yang awam terlena sehingga mereka beranggapan hanya cukup dengan mengucapknnya saja sudah bisa menghantarkannya ke surga dan menjauhkannya dari neraka, tanpa mereka perhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh yang mengucapkannya sebagaimana para salaful ummah telah menjabarkannya. Banyak kaum muslimin yang tidak mengetahui syarat-syarat ini. Hingga akhirnya merekapun dengan begitu ringannya mengucapkan kalimat لا اله الا الله , tanpa mengetahui konsekuensi dari kalimat tersebut. Mereka mengucapkannya, namun mereka tidak meyakini di dalam hati serta tidak mengamalkan syarat-syarat tersebut karena ketidaktahuan mereka. Sehingga hal ini adalah sesuatu yang sia-sia.

Adapun orang-orang kafir Quraisy di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka begitu memahami makna dan hakikat kalimat tersebut dalam bahasa Arab, sehingga mereka tidaklah mau menerima kalimat ini meski hanya mengucapkan saja. Karena mengucapkan kalimat tersebut memiliki resiko dan konsekwensi yang sangat besar yakni mereka harus meninggalkan segala sesembahan lainnya, yang mereka sembah selain Allah.

أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shad: 5).

Orang-orang kafir tersebut mengetahui makna kalimat tauhid secara sempurna namun mereka tidak mau memenuhi seruannya, sedangkan kaum muslimin zaman sekarang berbondong-bondong mengucapkan kalimat tauhid, namun banyak dari mereka masih terjerumus dalam kemusyrikan karena ketidaktahuan mereka dengan makna kalimat tersebut. Pernah suatu hari sseorang berkata kepada wahab bin munabbih

وينسب لوهب بن منبه: أنه قيل له أليس لا إله إلا الله مفتاح الجنة قال: بلى ولكن ليس مفتاح إلا وله أسنان فإن جئت بمفتاح له أسنان فتح لك وإلا لم يفتح لك. رواه البخاري معلقا. Wahab bin Munabbih rahimahullah berkata kepada orang yang bertanya kepadanya: “Bukankah La Ilaha Illallah kunci surga?” Ia menjawab: “Betul. Tetapi, tiada satu kunci-pun kecuali ia memiliki gigi-gigi, jika kamu membawa kunci yang memiliki gigi-gigi, pasti engkau dapat membuka pintu, namun jika engkau membawa kunci yang tidak ada gigi-giginya pasti pintu itu tak akan terbuka.” (HR. Bukhari dalam ta’liq)

Dan gigi-gigi kunci La Ilaha Illallah itu adalah syarat La Ilaha Illallah, Jika salah satu di antara syarat-syarat tersebut tidak kita penuhi, maka akan menjadikan kalimat tersebut tidak sah atau tidak diterima. Syarat syaratnya sebagai berikut:

  1. Al Ilmu

    firman Allah ta’ala : فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) yang haq selain Allah.” (QS. Muhammad: 19)

    maksudnya kita harus mengetahui betul makna dan segala konsekwensi ketika kita sudah mengucapkan kalimat “laa ilaha illallah”. Memahami makna kalimat tersebut, baik dari sisi penafian (peniadaan) maupun dari sisi penetapan. Paham bahwa kita harus menjauhi dan meningglakan segala macam bentuk sesembahan dan peribatadan kepada selain Allah, bara’ darinya dan para pelakunya dan hanya beribadah kepada Allah semata dalam segala bentuk ibadah dalam arti yang luas, sebagaimana telah berlalu penjelasan makna ibadah dan sifatnya. Sehingga tidak terjadi kontradiksi antara amaliyah dan ucapan. Sebagaimana Orang-orang kafir quraisy jaman dahulu, mereka konsisten dengan kemusyrikannya dan mereka paham betul makna “laa ilaha illallah”, makanya mereka ketika diseru untuk mengucapkan “laa ilaha illallah”, mereka tidak mau dan menjawab dengan konsekwensi dari kalimat tersebut.

    Allah berfirman: “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, Dan mereka berkata: “Apakah Sesungguhnya Kami harus meninggalkan sembahan-sembahan Kami karena seorang penyair gila?” (ash-shaffat :35-36)

    Jadi sekedar pengucapan saja tanpa mengetahui maknanya dan segala konsekwesinya adalah sia-sia dan belum bisa mengantarkan pelakunya ke surga. Rosulullah bersabda: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ )رواه مسلم( “Barangsiapa yang meninggal sedangkan dia mengetahui makna La Ilaha Illallah pasti masuk surga.” (HR. Muslim)

  2. Al Yaqin

    Lawan yakin adalah keragu-raguan (syak). Yakin merupakan kekuatan dan kesempurnaan ilmu. Seorang yang mengatakan kalimat ini haruslah benar-benar meyakini pengertian dan kandungan kalimat tersebut tanpa adanya keraguan dan kebimbangan sedikitpun. Karena iman itu butuh keyakinan, tidak cukup dengan prasangka.

    Allah berfirman : “Sesungguhnya orang orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 15)

    Apabila seseorang ragu-ragu dalam keimanannya, maka termasuklah dia dalam orang-orang munafik. Allah Ta’ala mengatakan kepada orang-orang munafik tersebut, “Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.”(QS. At Taubah : 45)

    Dalam beberapa hadits, Allah mengatakan bahwa orang yang mengucapkan laa ilaha illallah akan masuk surga dengan syarat yakin dan tanpa ada keraguan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidak ada seorang hamba pun yang bertemu Allah (baca: meninggal dunia) dengan membawa keduanya dalam keadaan tidak ragu-ragu kecuali Allah akan memasukkannya ke surga” (HR. Muslim)

    Dari Abu Hurairah juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فَيُحْجَبَ عَنِ الْجَنَّةِ “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Seorang hamba yang bertemu Allah dengan keduanya dalam keadaan tidak ragu-ra gu, Allah tidak akan menghalanginya untuk masuk surga.” (HR. Muslim)

    Supaya orang yang mengucapkannya bisa masuk surga, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjadikan syarat agar dalam mengucapkannya tidak ragu terhadapnya dan hatinya meyakininya dengan penuh.

  3. Al Ikhlas

    Lawannya adalah syirik. keikhlasan disini bermakna memurnikan, maka apabila ibadahnya diberikan pula kepada selain Allah, maka hilanglah keikhlasan dan jatuh ke dalam kesyirikan. Maka keikhlasan harus meniadakan bentuk amalan kesyirikan, kemunafiqan, riya’ dan sum’ah.

    Allah swt berfirman: “…Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan agama kepada-Nya.”(az-Zumar: 2)

    “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas (memurnikan) keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah [98] : 5)

    Dalam shahih Bukhari, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ “Orang yang paling berbahagia mendapatkan syafaatku pada hari kiamat adalah dia yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah ikhlash dari hatinya atau dirinya.”

  4. Ash shidqu

    Lawannya adalah mendustakan. Seorang yang telah mengucapkan kalimat tauhid, maka orang tersebut harus membenarkannya di dalam hatinya, di mana hatinya selalu sejalan dengan lisannya. Tidaklah cukup bagi kita mengucapkan kalimat لا اله الا الله saja, namun ucapan ini juga harus dibarengi dengan adanya pembenaran di dalam hati. Adapun orang yang hanya menampakkan lahirnya saja dengan mengucapkan kalimat tersebut, akan tetapi dia tidak membenarkan dalam hatinya, maka dia adalah seorang munafik. Allah Ta’ala berfirman:

    “Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya.” (QS. Al-Fath: 11)

    Begitu juga pada firman-Nya,

    “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al Munafiqun [63] : 1)

    Untuk mendapatkan keselamatan dari api neraka tidak hanya cukup dengan mengucapkan kalimat tauhid tersebut, tetapi juga harus disertai dengan pembenaran (kejujuran) dalam hati. Maka semata-mata diucapkan tanpa disertai dengan kejujuran dalam hati, tidaklah bermanfaat.

    Lihatlah hadits dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ “Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya dengan kejujuran dari dalam hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan neraka baginya.” (HR. Bukhari)

  5. Al mahabbah

    yaitu mencintai kalimat ini serta makna yang terkandung di dalamnya dan apa saja yang ditunjukkannya, dituntutnya, dan orang-orang yang menggucapkannya, mengamalkan dan berpegang teguh dengannya, serta membenci semua hal yang bertentangan dengannya. dan merasa bahagia dengannya. Bahkan cinta merupakan salah satu unsur pokok dalam ibadah di samping rasa takut dan harap. Barangsiapa mencintai Allah ia akan mencintai agama-Nya, barangsiapa yang tidak mencintainya maka jangan diharap ia akan mencintai agama-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. (Al Baqoroh: 165) Dalam ayat ini, Allah mengabarkan bahwa orang-orang mukmin sangat cinta kepada Allah. Hal ini dikarenakan mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun dalam cinta ibadah. Sedangkan orang-orang musyrik mencintai sesembahan-sesembahan mereka sebagaimana mereka mencintai Allah. Tanda kecintaan seseorang kepada Allah adalah mendahulukan kecintaan kepada-Nya walaupun menyelisihi hawa nafsunya dan juga membenci apa yang dibenci Allah walaupun dia condong padanya. Sebagai bentuk cinta pada Allah adalah mencintai wali Allah dan Rasul-Nya serta membenci musuhnya, juga mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencocoki jalan hidupnya dan menerima petunjuknya.

    Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ “Tiga hal, apabila ketiganya ada pada diri seseorang maka ia akan bisa merasakan manisnya Iman; Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, dia mencintai seseorang hanya karena Allah, dia benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

  6. Al inqiyad (tunduk dan patuh) terhadap tuntutannya.

    yaitu seorang yang mengucapkan laa ilaha illallah haruslah patuh terhadap syari’at Allah serta tunduk dan berserah diri kepada-Nya. Serta tunduk terhadap konsekwensi kalimat لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ. Lawan sikap tunduk adalah al-i’radh (cuek). Artinya, sama sekali tidak mau melaksanakan konsekwensi kalimat tauhid tersebut.

    Allah Ta’ala berfirman, “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan. . .” (QS. Al-Nisa’: 125)

    “Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (QS. Luqman: 22)

    Makna Yuslim Wahjahu: dia menyerahkan diri dan tunduk dengan banyak berbuat baik dan bertauhid. Sedangkan orang yang tidak menyerahkan diri dan tidak tunduk kepada Allah, maka dia tidak termasuk berpegang teguh dengan tali yang kuat (Laa Ilaaha Illallaah).

    Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; “Tiada beriman salah seorang kalian sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (HR. al Baihaqi)

  7. Al Qabul

    Artinya, menerima dengan sepenuh hati setiap konsekwensi kalimat tauhid. Lawan dari sikap menerima adalah menolak. Seorang muslim yang mengaku dirinya beriman sudah seharusnya menerima kalimat ini dengan hati dan lisannya. Karena ada sebagian manusia yang mengucapkannya dengan mengetahui maknanya tapi ia tidak menerima seruan orang yang mengajaknya. Hal ini bisa disebabkan karena kesombongan, dengki atau sebab-sebab yang lain. Maka barangsiapa yang tidak mau menerima kalimat ini, menolaknya, bahkan menyombongkan diri darinya, maka dia telah kafir. Karena sikap menolak kalimat tauhid , serupa dengan yang terjadi di kalangan kaum kafir Quraisy di mana mereka melawan dan bersikap sombong serta tidak mau menerima kalimat tauhid tersebut.

    Allah berfirman: إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ [35] وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ [الصافات:36[ “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, Dan mereka berkata: “Apakah Sesungguhnya Kami harus meninggalkan sembahan-sembahan Kami karena seorang penyair gila?” (ash-shaffat :35-36)

    « مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ » . “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti air hujan lebat yang turun ke tanah. Di antara tanah itu ada yang subur yang dapat menyimpan air dan menumbuhkan rerumputan. Juga ada tanah yang tidak bisa menumbuhkan rumput (tanaman), namun dapat menahan air. Lalu Allah memberikan manfaat kepada manusia (melalui tanah tadi, pen); mereka bisa meminumnya, memberikan minum (pada hewan ternaknya, pen) dan bisa memanfaatkannya untuk bercocok tanam. Tanah lainnya yang mendapatkan hujan adalah tanah kosong, tidak dapat menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput (tanaman). Itulah permisalan orang yang memahami agama Allah dan apa yang aku bawa (petunjuk dan ilmu, pen) bermanfaat baginya yaitu dia belajar dan mengajarkannya. Permisalan lainnya adalah permisalah orang yang menolak (petunjuk dan ilmu tadi, pen) dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Wallahu A’lam bishawab

CONTACT ME

2 komentar: